Prophetic Churches for the Metaverse

Communities That Sing the Melody of Hope

Abstrak

Dengan banyaknya gereja yang berlomba menuju metaverse, tulisan ini menawarkan respons awal terhadap fenomena meta-church dari konteks gereja-gereja Indonesia. Gereja-gereja yang mengadopsi dan berpartisipasi dalam metaverse seharusnya tidak sekadar menjadi lembaga yang mengadakan ibadah atau berkhotbah di sana. Gereja-gereja yang memasuki metaverse mengikuti strategi yang didorong oleh followers, likes, dan viewers (Joas Adiprasetya) sebagai ekuivalen digital untuk mengukur kehadiran, bangunan, dan uang tunai (Chloe Lynch) tanpa pemahaman yang tepat tentang sifat metaverse serta kurangnya kesadaran kontekstual yang secara tidak sadar mendukung dan bahkan mempertahankan sistem yang mendorong ketidakadilan dan ketidaksetaraan. Untuk mendatangkan kesadaran ini, melalui artikel ini saya melihat kepada Belle, film animasi Jepang tahun 2021 yang menggambarkan metaverse. Belle menampilkan Sponsors yang memanfaatkan sumber dayanya dan dengan demikian menyalahgunakan metaverse dengan melanggengkan ketidakadilan yang mendalam. Film ini menyoroti kondisi potensial metaverse yang menjanjikan kemungkinan tak terbatas dan dimaksudkan untuk tidak memihak kepada siapapun, dengan cara menghubungkan orang-orang dan menghilangkan hambatan jarak dan waktu. Sekalipun saya berpendapat bahwa gereja-gereja Indonesia harus belajar dari karakter profetis Bitcoin, mereka juga harus tetap waspada terhadap ketidakadilan yang melekat yang hadir dengan munculnya NFT (non-fungible token). Memanfaatkan interpretasi Joshua Nunzianto tentang ekonomi pengorbanan Augustinian, saya mengevaluasi kembali konsep ekonomi metaversal yang didasarkan pada gagasan kelangkaan dan kepemilikan kepemilikan. Kemudian, dengan mengacu pada Imajinasi Profetik karya Walter Brueggemann dan The Spirit of Hope karya Jürgen Moltmann, saya membangun sebuah eklesiologi komunitas profetis yang menyanyikan melodi harapan.